GET CORNER

Melihat Indonesia Lewat Lelucon: Perjalanan Komedi dari Generasi ke Generasi

Ada pepatah mengatakan: tertawalah, maka dunia akan ikut tertawa bersama kita. Ini menyiratkan bahwa tertawa itu menular, karena saat kita tertawa orang akan ikut merasakan kebahagiaan yang sama. Menariknya lagi, tertawa memiliki banyak manfaat mulai dari mengurangi stres hingga depresi, bahkan mampu memberikan efek positif pada kesehatan jantung dan tubuh.

Di balik fakta menarik soal tertawa, ada seni pertunjukan yang mengedepan komedi sebagai tampilan utama. Di Indonesia seni pertunjukan komedi sendiri sudah ada sejak abad ke-12, tepatnya di bumi Majapahit yang terkenal dengan pertunjukkan Ludruk Bandhan. Yaitu seni pertunjukan komedi yang memamerkan kekuatan dari para pemainnya dan diiringi oleh alat musik kendang dan jidor.

Perkembangan komedi semakin pesat dengan munculnya Lenong Betawi di era 1920. Pertunjukkan komedi yang diambil dari nama pedagang Cina yaitu Lien Ong ini sangat kental dengan cerita tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi. Pertunjukkan ini dibuka dengan musik gambang kromong yang melantunkan lagu-lagu khas Betawi dan terkadang lenong banyak menampilkan adegan laga dengan bermain pencak silat.

Memasuki era 60-an hingga 90-an, panggung komedi dikuasai oleh kelompok seperti Srimulat, Kwartet grup, Warkop DKI. Lawakan mereka sederhana, terkadang konyol, tapi selalu mengena di hati masyarakat. Sebut saja lawakan dari Warkop DKI yang dinilai segar karena banyak menampilkan celotehan-celotehan lucu namun mengkritik. Terlebih pada era ini dunia komedi bukan lagi hanya di atas panggung rakyat, namun sudah merambah ke layar lebar.

Evolusi Dunia Komedi

Kini, dunia komedi telah berevolusi. Komedi dikemas dengan gaya panggung dan celotehan yang sarat akan isu-isu sosial namun tetap menghibur. Saat ini stand-up comedy atau lawakan tunggal dengan gaya monolog sedang booming di Indonesia, bahkan dunia. Hadir dengan gaya cerdas dan kritis, para komika sebutan untuk stand up komedian biasanya tampil membawa isu-isu sosial bahkan politik ke atas panggung tanpa kehilangan unsur hiburan. Perubahan ini memperkaya warna komedi Indonesia, dari slapstick hingga satir, semua menemukan ruangnya masing-masing.

Kalau merunut ke belakang, perjalanan komedi di Indonesia memang bukan sekedar seni pertunjukkan yang menghibur dan mengundang gelak tawa. Kehadiran komedian di Indonesia bak kritikus pedas yang dikemas dengan gaya komedi. Warkop DKI misal, komedian yang terdiri dari kumpulan mahasiswa yakni Dono, Kasino, Indro ini menghadirkan komedi slapstick cerdas. Kritikan tentang kesenjangan sosial, kritik soal moralitas bangsa hingga isu politik berhasil mereka balut dengan apik dan menghibur.

Kini era itu bergeser ke pertunjukan monolog stand up comedy. Menariknya, pertunjukan komedi ini justru melahirkan banyak komedian yang piawai ‘menggoreng’ isu-isu sosial-politik dalam sebuah komedi monolog.

Perjalanan Stand Up Comedy di Indonesia

Ternyata stand up comedy di Indonesia sudah ada sejak era 70-an. Ya, komedi monolog ini sudah diperkenalkan oleh grup lawak Srimulat yang seringkali memunculkan para pemainnya untuk melawak secara monolog di saat pertunjukkan baru dimulai. Komedi monolog inilah yang merupakan cikal bakal terbentuknya stand up comedy di Indonesia.

Di tahun 2011 stand up comedy mulai dikenal masyarakat luas. Berbagai ajang kompetisi mencari bakat komika banyak digelar, salah satu yang kita kenal adalah Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) yang diprakarsai oleh komika Ernest Prakasa, Pandji Pragiwaksono, Raditya Dika, Isman H. Suryaman, dan Ryan Adriandhy. Kini, perjalanan stand up comedy di Indonesia telah menorehkan jejak yang sulit dihapus. Dari generasi ke generasi, panggung ini terus melahirkan suara-suara baru dengan warna yang berbeda.

Seiring waktu, stand up comedy bukan hanya sekadar hiburan semata, tetapi juga media kritik yang cerdas. Para komika belajar meramu kata, memadukan kejujuran dan humor, hingga mampu menyentil isu-isu sensitif tanpa kehilangan kelakar yang renyah. Penonton pun makin dewasa menikmatinya, tidak lagi hanya menunggu punchline yang memecah tawa, tapi juga pesan-pesan yang tertanam di baliknya. Di sinilah stand-up comedy menemukan jati dirinya, sebuah seni bercerita yang membebaskan.

Kementerian Ekonomi Kreatif