Selama ini, banyak konsumen mengira bahwa air pegunungan yang mereka konsumsi langsung diambil dari mata air permukaan yang mengalir di antara bebatuan. Namun, pakar hidrogeologi meluruskan pemahaman itu dengan penjelasan ilmiah yang justru semakin memperkuat keyakinan akan kualitas dan keamanan air pegunungan yang selama ini dikonsumsi masyarakat.
Profesor Lambok M. Hutasoit, pakar hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan bahwa air pegunungan sebenarnya berasal dari sistem akuifer alami yang terbentuk melalui proses geologi yang panjang dan kompleks.
Akuifer atau ponot adalah lapisan yang terdapat di bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air. Lapisan akuifer mengandung formasi batu-batuan yang mampu melepaskan air dalam jumlah yang banyak. Air yang keluar dalam jumlah banyak mampu membentuk mata air. Melalui akuifer inilah air tanah dapat diambil.
Proses dimulai ketika air hujan turun di kawasan pegunungan, kemudian meresap secara perlahan melalui berbagai lapisan batuan dan tanah. Proses resapan alami inilah yang menjadi kunci utama terbentuknya akuifer – lapisan batuan berpori yang menyimpan air bersih.
“Sumber air pegunungan itu berada dalam sistem akuifer yang dihasilkan dari proses alami di pegunungan, yaitu hujan yang meresap ke dalam tanah, lalu mengalir ke sumber air dan diambil dari akuifer bawah tanah di pegunungan,” jelas Profesor Lambok, dalam keterangannya, Rabu (22/10/2025).
Proses resapan yang bisa memakan waktu bertahun-tahun inilah yang secara alami menyaring air dan mengisinya dengan mineral-mineral bermanfaat.
Pemilihan sumber air dari akuifer pegunungan oleh industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) bukan tanpa alasan ilmiah yang kuat. Dibandingkan dengan air tanah biasa, air dari akuifer pegunungan memiliki kualitas yang lebih terjamin.
Profesor Lambok menegaskan bahwa tidak semua air tanah aman untuk dikonsumsi langsung. “Salah satunya ada Kromium VI yang sangat beracun. Jadi, tidak sembarangan menggunakan air tanah untuk air minum. Harus dianalisis kimianya terlebih dahulu,” tegasnya.
Ancaman kontaminasi air tanah dari berbagai sumber pencemar menjadi pertimbangan utama dalam memilih sumber air yang benar-benar aman.
Kualitas air pegunungan juga sangat ditentukan oleh karakteristik lapisan batuan tempat akuifer terbentuk.
Menurut pakar ITB tersebut, batuan pasir, kapur, dan gamping dinilai ideal sebagai sumber air karena kemampuannya menyaring air secara alami sekaligus melarutkan mineral-mineral penting. Sebaliknya, batuan lumpur dianggap kurang baik karena lebih rentan terhadap kontaminasi.
“Batuan yang mengandung air bisa ditemukan di kedalaman dangkal maupun dalam. Tapi yang dangkal biasanya lebih rawan kontaminasi, baik dari toilet, selokan, maupun limbah lain,” paparnya.
Penjelasan itu makin mempertegas mengapa air dari akuifer dalam di kawasan pegunungan menjadi pilihan terbaik untuk memastikan keamanan dan kualitas air minum yang dikonsumsi masyarakat setiap hari.
infopublik.id
Foto udara obyek wisata air terjun Telun Berasap di Gunung Tujuh, Kerinci, Jambi, Minggu (28/9/2025). Air terjun setinggi 50 meter yang berada dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di tepi jalan nasional perbatasan Jambi dengan Sumatera Barat itu saat ini dikelola Pemerintah Kabupaten Kerinci dengan rata-rata kunjungan 100 orang per minggu. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.





