Lombok Barat

PKC PMII Bali Nusra Kecam dan Kutuk Pemberhentian 1.600 Pegawai Honorer di Lombok Barat

Lombok Barat – Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Bali–Nusra menyampaikan kecaman keras terhadap kebijakan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat yang telah melakukan pemberhentian terhadap sekitar 1.600 pegawai honorer di berbagai instansi daerah.

Keputusan tersebut dinilai sebagai kebijakan yang tidak berkeadilan, tidak transparan, dan menunjukkan lemahnya sensitivitas sosial pemerintah daerah terhadap nasib masyarakat kecil. Ribuan tenaga honorer yang selama ini telah mengabdikan diri dengan penuh dedikasi justru harus menanggung akibat dari kebijakan yang diambil secara sepihak tanpa komunikasi publik yang jelas.

Ketua Bidang PKC PMII Bali–Nusra, Ahmad Halimi, dalam keterangannya menegaskan bahwa langkah pemerintah daerah ini merupakan bentuk pengabaian terhadap prinsip dasar pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

“Kebijakan ini bukan sekadar angka-angka dalam sistem birokrasi. Di balik 1.600 orang yang diberhentikan, ada ribuan keluarga yang kini menghadapi ketidakpastian ekonomi. Ini bukan hanya keputusan administratif, tetapi keputusan yang menyentuh sisi kemanusiaan,” ujar Halimi.

Menurut Halimi, pemerintah daerah seharusnya lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Ia menilai, pemberhentian massal tanpa skema transisi yang jelas merupakan bukti bahwa pemerintah tidak memiliki rencana yang matang dalam mengelola sumber daya manusia di daerah.

“Langkah seperti ini hanya menunjukkan bahwa pemerintah gagal memahami esensi reformasi birokrasi. Reformasi bukan berarti memangkas tenaga kerja seenaknya, melainkan membangun sistem yang efisien sekaligus adil bagi mereka yang telah lama berkontribusi,” tambahnya.

Kebijakan yang Tidak Peka dan Menimbulkan Luka Sosial

PKC PMII Bali–Nusra menilai, keputusan ini telah menimbulkan luka sosial di tengah masyarakat Lombok Barat. Banyak tenaga honorer yang merasa diperlakukan tidak adil, terutama karena tidak ada sosialisasi yang memadai sebelum kebijakan tersebut diterapkan.

Bagi Halimi, langkah pemerintah ini mencerminkan minimnya empati dan kepedulian terhadap rakyatnya sendiri. Padahal, para tenaga honorer tersebut selama ini telah menjadi bagian penting dalam menopang pelayanan publik di berbagai sektor pemerintahan — mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga administrasi pemerintahan desa.

“Ironis sekali. Mereka yang setiap hari bekerja dengan gaji rendah dan fasilitas minim, kini malah diperlakukan seperti beban. Pemerintah seharusnya mengapresiasi pengabdian mereka, bukan justru menghapus mereka dari sistem tanpa solusi,” ungkap Halimi dengan nada kecewa.

Lebih lanjut, PKC PMII Bali–Nusra menyoroti bahwa kebijakan pemberhentian ini juga berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan di daerah. Lombok Barat merupakan wilayah yang masih berjuang untuk pulih dari dampak pandemi dan keterbatasan ekonomi lokal. Dalam situasi seperti ini, kebijakan pemutusan kerja massal justru dapat memperparah kondisi sosial masyarakat.

Ketidaksesuaian dengan Semangat Reformasi Birokrasi Nasional

Secara normatif, pemerintah daerah memang memiliki kewenangan untuk melakukan penataan aparatur, termasuk tenaga honorer. Namun, menurut PKC PMII Bali–Nusra, kewenangan tersebut harus dijalankan dengan memperhatikan aspek kemanusiaan dan keadilan sosial.

Pemerintah pusat melalui berbagai regulasi telah menekankan bahwa reformasi birokrasi tidak boleh dijalankan dengan mengorbankan kesejahteraan aparatur non-ASN. Proses penataan seharusnya dilakukan secara bertahap, transparan, dan dengan membuka ruang dialog antara pemerintah dan tenaga kerja yang terdampak.

“Kami memahami bahwa setiap daerah ingin menata sistem kepegawaian sesuai dengan ketentuan pemerintah pusat. Tapi menata bukan berarti menyingkirkan. Seharusnya ada solusi yang lebih manusiawi — misalnya dengan pembinaan, pelatihan ulang, atau pengalihan status tenaga honorer yang berpotensi diangkat sebagai ASN atau PPPK,” tegas Halimi.

Ia menambahkan, bahwa pendekatan yang berfokus pada efisiensi tanpa memperhatikan dimensi sosial dan kemanusiaan hanya akan menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.

PMII: Pemerintah Harus Kembali ke Nilai Keadilan dan Kemanusiaan

Sebagai organisasi mahasiswa Islam yang berpijak pada nilai-nilai keadilan sosial, PKC PMII Bali–Nusra menilai kebijakan ini adalah cermin dari krisis moral dalam pengambilan keputusan publik. Pemerintah daerah, kata Halimi, seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan sumber keresahan baru.

“Kami tidak menolak perubahan. Tapi perubahan harus membawa perbaikan, bukan penderitaan baru. Pemerintah daerah wajib memastikan bahwa setiap kebijakan publik berpihak pada rakyat kecil,” tegasnya lagi.

Halimi juga mengingatkan bahwa tenaga honorer bukan sekadar ‘beban anggaran’, tetapi wajah nyata dari dedikasi pelayanan publik di tingkat daerah. Mereka adalah bagian dari sistem yang memastikan masyarakat mendapatkan layanan dasar setiap hari.

“Ketika mereka diberhentikan tanpa arah, itu artinya pemerintah memutus mata rantai pengabdian. Ini bukan sekadar soal pekerjaan, tapi soal harga diri dan keadilan,”. ucapnya.

Seruan Moral dan Harapan

Dalam kesempatan yang sama, Halimi menyerukan agar semua pihak — terutama masyarakat sipil, mahasiswa, dan media — turut mengawal kebijakan ini agar tidak menimbulkan ketidakadilan yang lebih luas.

PMII Bali–Nusra menilai bahwa kritik publik terhadap pemerintah daerah adalah bentuk kepedulian, bukan permusuhan. Karena sejatinya, peran mahasiswa dan masyarakat adalah menjadi penyeimbang kekuasaan agar kebijakan yang lahir benar-benar berpihak pada kemaslahatan umum.

“Kita semua harus terlibat menjaga nurani kebijakan publik. Pemerintah boleh kuat secara aturan, tapi kekuasaan tanpa empati adalah kekuasaan yang kehilangan arah.” tutup Ahmad Halimi.