Lombok Barat

SPPG Montong Are 2 Mendadak Ditutup SPPI, Yayasan Agniya: Harusnya Ada Persetujuan dari BGN

Lombok Barat – Kejadian di lapangan bikin banyak pihak mengernyitkan dahi. Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Montong Are 2, yang jadi bagian dari program Makanan Bergizi Gratis (MBG), mendadak berhenti beroperasi tanpa ada surat resmi dari Badan Gizi Nasional (BGN).

Penutupan itu disebut-sebut dilakukan sepihak oleh SPPI atau Kepala Dapur, dan kini Yayasan Agniya Pagutan Timur sebagai mitra pelaksana program mempertanyakan dasar hukumnya.

“Pertanyaan sederhana saja, sejauh itukah kewenangan SPPI, hingga bisa menutup satuan layanan tanpa koordinasi dan persetujuan BGN?” ujar Ketua Yayasan Agniya, Hariyanto, M.H., kepada wartawan, Kamis (30/10/2025).

Menurut Hariyanto, pihaknya telah menyampaikan permohonan resmi kepada Kepala BGN RI, terkait penggantian SPPI atau Kepala SPPG Montong Are 2. Langkah itu diambil setelah serangkaian persoalan yang dianggap mengganggu mutu layanan, bahkan berpotensi membahayakan penerima manfaat program MBG.

Dari hasil evaluasi internal Yayasan Agniya, sejumlah catatan ditemukan dalam pelaksanaan di SPPG Montong Are 2. Beberapa di antaranya dinilai cukup fatal. Mulai dari penggunaan celana pendek saat bertugas menerima tamu dinas, kurangnya kontrol kualitas bahan baku, hingga penggunaan daging ayam sisa dua hari sebelumnya, dimana hasil uji labnya positif mengandung bakteri.

“Yang paling mengkhawatirkan itu, penggunaan bahan makanan sisa dua hari sebelumnya untuk menu MBG. Padahal, ahli gizi sudah menyiapkan menu segar sesuai standar. Itu bisa berisiko bagi kesehatan anak-anak penerima manfaat,” jelas Hariyanto.

Selain itu, Kepala SPPG disebut tidak menyalurkan bantuan untuk kategori 3B, dengan alasan tidak ada food tray, padahal data menunjukkan stok tray lebih dari cukup.

“Ini bukan cuma soal administrasi, tapi menyangkut hak penerima manfaat. Dana sudah cair, tapi makanan tidak tersalurkan. Ini harus ditelusuri,” tegasnya.

Hariyanto juga menyoroti pola komunikasi yang kurang profesional. Sebagian besar koordinasi dilakukan lewat pesan WhatsApp, tanpa rapat atau laporan resmi.

“Akibatnya sering salah paham, bahkan sampai penggunaan bahasa yang kurang pantas di grup kerja. Terakhir, malah ada pengumuman penutupan SPPG, yang dikirim lewat WhatsApp tanpa sepengetahuan kami,” ujarnya kecewa.

Menurutnya, tindakan menutup SPPG tanpa dasar dan tanpa seizin BGN, dapat menimbulkan preseden buruk.
“SPPI bukan lembaga independen, yang bisa menutup layanan begitu saja. Semua ada mekanisme dan harus melalui persetujuan BGN,” tandasnya.

Yayasan Agniya menegaskan, permohonan penggantian Kepala SPPG bukan didorong kepentingan pribadi, tapi demi menjaga mutu gizi, transparansi, dan keamanan penerima manfaat.

“Kami justru ingin program MBG ini berjalan lebih baik. Jangan sampai karena satu orang, kepercayaan masyarakat dan reputasi BGN ikut tercoreng,” ucap Hariyanto.

Ia berharap BGN RI segera turun tangan untuk meninjau langsung kondisi di lapangan, sekaligus memastikan pelayanan pemenuhan gizi tetap berjalan tanpa gangguan.

“Yang paling penting, jangan sampai anak-anak penerima manfaat jadi korban dari kisruh administrasi. Tugas kita semua adalah menjaga agar program ini tetap berorientasi pada kepentingan masyarakat,” tutupnya.